CHAPTER-I

"Sunyi Yang Menyimpan Rindu"

Malam ini sunyi. Sunyi sampai rasanya udara ikut menahan napas. Aku duduk sendiri di kamar, tangan menggenggam selimut tipis, menatap gelap di luar jendela, merasakan rindu yang menekan dadaku sampai hampir patah.

Aku masih ingat hari itu, saat aku benar-benar menyadari perasaan ini. Kau sibuk, berlari ke sana ke mari, langkahmu cepat, matamu fokus pada urusan yang menumpuk, tas di bahumu, dokumen di tanganmu, semuanya tampak seperti perlombaan dengan waktu.

Aku hanya berdiri di sudut, diam, menyaksikanmu. Setiap gerakanmu, setiap tarikan napasmu, setiap lompatan kecilmu ke sana ke mari... tersimpan rapi di ingatanku. Hatiku berdebar kencang, tapi aku tetap diam. Aku takut mengganggu, takut kau melihat hatiku yang rapuh.

Sejak saat itu, hatiku tidak pernah tenang. Aku memperhatikanmu: cara kau tersenyum kecil saat melihat sesuatu yang lucu, cara kau mengusap rambutmu tanpa sadar, cara kau menatap jauh ketika hujan rintik turun—semua tersimpan dalam hati, semua tak pernah kau tahu.

Aku selalu menahan diri. Menjadi teman, menjadi sandaranmu. Tapi hatiku tak pernah diam. Setiap senyummu menusuk sekaligus menerangi hatiku.

Kadang aku membayangkan seandainya aku bisa berani. Berani menatapmu, menggenggam tanganmu, berkata satu kata: "Aku mencintaimu." Tapi bayangan itu selalu hancur ketika aku melihatmu sibuk dengan duniamu sendiri.

Aku menatapmu dengan bahagia, tapi hatiku berteriak:

"Kapan aku menjadi salah satu alasanmu tersenyum? Tolong lihat aku... walaupun hanya sebentar. Aku benar benar mencintaimu, tapi aku juga terjebak dalam labirin yang selalu membawaku kembali kepadamu, seolah kau adalah rumah yang tak bisa kutinggalkan."

Aku mencoba melupakanmu berkali-kali. Setiap malam, aku menutup mata, berharap esok aku bisa bangun tanpa rasa sakit ini. Tapi pagi selalu kembali membawa bayanganmu. Kau terlalu baik, terlalu tulus, terlalu manusiawi. Kebaikanmu menjadi rantai yang mengikatku, senyummu adalah candu yang membunuhku perlahan.

Flashback... aku ingat saat berada di bandara, koper di sampingku, udara dingin menempel di kulit, rintik hujan menetes di kaca jendela terminal. Aku memandang ke luar, melihat pesawat-pesawat lepas landas, berharap jarak ini segera berakhir.

Saat itu ponselku bergetar. Pesan darimu muncul:

"Bagaimana penerbanganmu? Kamu jadi pulang? Di sini cuacanya lagi nggak baik-baik aja, hati-hati yaa."

Aku menunduk, menahan napas, menahan air mata yang nyaris jatuh. Ingin sekali membalas panjang lebar, ingin kau tahu betapa aku merindukanmu, ingin kau mengerti hatiku yang remuk. Tapi aku tetap diam. Aku hanya menatap koper di sampingku, membiarkan rindu yang tak bisa kusebut membeku di dada.

Setiap detik bersamamu terasa seperti pedang dan cahaya sekaligus. Aku tersenyum, tapi hatiku menangis. Aku tertawa, tapi air mataku selalu menunggu untuk jatuh.

Malam ini, sunyi menusuk. Sunyi yang membuat air mataku jatuh perlahan, tanpa suara, tanpa saksi selain bayangan diriku sendiri. Aku menangis bukan karena membencimu, tapi karena aku terlalu mencintaimu. Cintaku adalah luka yang kubawa diam-diam, doa yang kupanjatkan dalam hening, air mata yang jatuh sendiri.

Aku ingin melupakanmu, tapi bagaimana bisa melupakan seseorang yang sudah menjadi segalanya bagiku? Setiap napasku, setiap kenangan, setiap langkahku selalu ada bayanganmu.

Jika suatu hari aku melepaskanmu, itu bukan karena berhenti mencintaimu. Itu hanya karena aku terlalu lelah menanggung cinta yang tak pernah sampai.

Malam ini aku menangis lagi, membiarkan sunyi menetes bersamaku. Aku mencintaimu dalam diam, terjebak di labirin yang hanya punya satu nama—namamu.

Dan aku tahu... air mataku jatuh untukmu, walau kau tak pernah menyadarinya.