CHAPTER-IV

"Jejak yang Tersisa"

Hari-hari berlalu, tapi bayanganmu tak pernah benar-benar hilang.
Senyummu masih menetap di ingatanku, tatapanmu masih terasa hangat, bahkan suara tawamu kadang kembali begitu jelas di telinga.

Seolah aku masih berada di ruangan itu, bersamamu.

Ada satu momen yang selalu hadir di kepalaku, hari itu ketika kita berlatih bersama, mempersiapkan acara karena kita di tunjuk untuk menjadi panitia.
Suasana sibuk, tapi entah kenapa dunia seakan menyisakan ruang hanya untuk kita berdua.

Tiba-tiba kamu mendekat kepadaku dengan senyum sedikit ragu, lalu berkata,

"Boleh tolong review penampilanku nggak? Tapi aku belum hafal semua sih hehe..."

Aku terkejut, sekaligus tersipu. Namun aku berusaha menutupi rasa itu, mencoba terlihat biasa.

"Wow, boleh banget, gimana penampilannya? Sini aku sımakin," jawabku sambil tersenyum kecil.

kamu mulai menampilkan sedikit demi sedikit. Gerakmu masih kaku, suaramu terdengar hati-hati, seakan takut salah. Baru beberapa bagian berjalan, tiba-tiba kamu berhenti.

Napasmu terdengar berat, lalu kamu menatapku sambil berkata,

"Ah, gabisa... aku belum bisa, aku belum hafal materinya..."

Aku hanya bisa menatapmu, tersenyum dan berusaha menenangkan, meski dalam hati aku terhanyut oleh kejujuranmu yang begitu polos.

Padahal, jika saja kamu tahu, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak pernah melihat kekuranganmu Yang kulihat hanya dirimu.
Dirimu yang sederhana, berusaha untuk selalu terlihat kuat, dan justru begitu sempurna di mataku.

Aku ingin sekali mengatakan padamu,

"Kamu nggak perlu ragu, kamu sudah lebih dari cukup. Kamu selalu tampak begitu sempurna di mataku."

Tapi kata-kata itu hanya berputar di kepalaku, tak pernah benar-benar terucap Aku hanya bisa tersenyum, pura-pura tenang, sementara di dalam dadaku, aku nyaris meledak oleh perasaan yang tak tertahankan.

Hari itu aku pulang dengan membawa banyak hal—tugas panitia, rasa lelah, tapi terutama... rasa cinta yang semakin berat untuk kupikul sendirian.

Kini, setiap kali aku mengingat momen itu, ada perih yang menyelinap.
Karena semua itu hanya akan menjadi angan-angan dan kenangan.

Aku tahu, mungkin perasaanku takkan pernah sampai. Aku hanyalah penonton yang diam-diam jatuh cinta, tanpa pernah berani menuntut panggung untuk diriku sendiri.

Namun meski menyakitkan, aku tetap bersyukur. Karena dari momen-momen kecil bersamamu aku belajar tentang ketulusan, tentang keberanian untuk merasa, dan tentang indahnya mencintai tanpa syarat.

Aku menutup mata, membiarkan semuanya menetap. Dalam diam aku berbisik pada hatiku sendiri:

"Cinta ini mungkin tak sampai, tapi jejakmu akan selalu tinggal. Di sini, di hatiku, selamanya."