Aku menghabiskan 2 hari 3 malam untuk menyelesaikan pendahuluan dari esai yang berisi perasaan ku kepadamu. Dan akhirnya aku berani melangkah ke bagian inti. Aku menuliskan kalimat pertama yang terasa berat namun melegakan:
"Isi esai ini kubagi menjadi tiga bagian: Mengurai Perasaan, Butterfly Era & Musik Perasaan, serta Sebuah Pengakuan Bukan Tuntutan."
Isi I: Mengurai Perasaan :
Di bagian ini aku menuliskan kejujuran paling sederhana: aku menyukaimu.
Rasa itu datang perlahan, tumbuh dari hal-hal kecil, tawamu yang tulus, caramu bicara, bahkan diam-mu yang menenangkan.
Ada malam di mana aku hanya bisa duduk menatap layar hingga pukul dua dini hari. Aku mencari kalimat yang tepat, namun tak kunjung menemukannya. Malam itu aku tertidur sambil menangis, dengan laptop masih terbuka di sampingku. Esok harinya, dengan mata yang bengkak, aku berjanji pada diriku sendiri untuk melanjutkan apa yang sudah kualami setengah jalan.
Di dalam Butterfly Era & Musik Perasaan aku menuliskan betapa setiap kehadiranmu melahirkan kupu-kupu yang beterbangan di perutku.
Senyummu seperti melodi, tatapanmu seperti intro lagu yang selalu kutunggu, dan suaramu terdengar seperti nada yang membuatku ingin terus mendengarkan.
Lalu aku teringat, betapa seringnya kau menegurku saat aku berbuat salah. Itu bukan teguran yang keras, hanya perhatian sederhana, tapi berarti besar bagiku. Tak banyak orang yang peduli, kebanyakan memilih diam. Tapi kau berbeda, kau selalu ingin aku belajar. Dari situlah aku sadar: hadirmu bukan hanya membuatku bahagia, tapi juga membuatku menjadi seseorang yang lebih baik.
Bagian Sebuah Pengakuan bukan Tuntutan kutulis dengan air mata yang tak lagi bisa kutahan. Kalimatnya sederhana:
"Aku tidak menulis esai ini untuk memaksa, apalagi menuntutmu mencintaiku kembali. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ada seseorang di dekatmu yang menyimpan rasa tulus tanpa syarat apa pun."
Sesudah menuliskannya, aku terdiam lama. Pikiranku dihantui bayangan tentang jawaban yang akan kuterima nanti. Apakah kau akan menerimanya dengan senyum? menolaknya dengan lembut? atau bahkan pura-pura tidak pernah membacanya?.
Tapi aku tahu, apa pun keputusanmu nanti adalah hakmu, dan aku siap menerimanya.
Yang jelas, satu hal kini terasa pasti: aku tak lagi bisa menunda. Aku tidak sabar memberikan esai ini padamu nanti, meski aku belum tahu bagaimana akhirnya. Karena bagiku, keberanian untuk jujur padamu sudah menjadi melodi yang tak pernah selesai di dalam hatiku.