Aku benar-benar lelah. Muak rasanya memikul beban perasaan ini sendirian terlalu lama, seakan dadaku sudah penuh dan tak mampu lagi menampungnya. Ada saat di mana aku hanya ingin melepaskannya—bukan dengan cara yang berlebihan, tapi dengan cara paling sederhana: mengatakan yang sebenarnya.
Dari titik itu, aku mulai memikirkan bagaimana caranya. Dua hari penuh kuhabiskan hanya untuk menimbang—apakah pengakuan ini ini pantas, atau justru akan meruntuhkan segalanya. Hingga akhirnya, di hari ketiga, aku memberanikan diri untuk memutuskan: aku harus melangkah.
Dengan penuh ragu dan juga takut, aku akhirnya bercerita kepada teman dekatnya. Suaraku bergetar, bahkan jemariku dingin saat menuliskan pesannya.
"Sejujurnya... aku suka sama dia," kataku pelan. "Tapi aku takut kalau aku ngomong, semua jadi hancur. Menurutmu... apa aku salah?"
Temannya sempat terdiam, lalu membalas dengan tenang.
"Kalau itu memang yang kamu rasakan, kenapa harus disembunyikan? Kadang yang lebih menyakitkan itu bukan ditolak, tapi menyesal karena nggak pernah mencoba. Aku dukung kamu, sepenuhnya."
Aku terdiam sejenak, lalu menambahkan, masih dengan ragu:
"Aku lagi kepikiran buat bikin esai... semacam pengakuan, tapi bukan tuntutan. Aku nggak tahu bisa selesai atau nggak, tapi aku ingin mencoba."
Temannya sempat kaget, lalu tertawa kecil.
"Hah, serius? Orang lain biasanya cukup pakai satu kalimat, atau paling banter surat singkat buat ngungkapin perasaan. Lah kamu... malah mau bikin esai?"
Aku hanya tersenyum getir, malu tapi juga lega sudah jujur.
"Iya... mungkin cara ini agak berlebihan. Tapi aku cuma ingin jelas, aku nggak mau setengah-setengah. Aku ingin semua rasa ini tersampaikan utuh."
Temannya mengangguk, matanya berbinar.
"Justru itu yang bikin kamu beda. Aku salut sama keberanianmu. Semoga usahamu membuahkan hasil yang memuaskan, ya. Aku doakan esai itu jadi jalan terbaik buat kamu."
Dukungan itu terasa seperti cahaya di tengah gelap, membuatku sadar bahwa apa pun hasilnya nanti, setidaknya aku telah jujur pada diriku sendiri.
Dari keresahan itu lahir sebuah ide yang lebih jelas: menulis esai. Aku tahu, menulis bukanlah perkara mudah, apalagi ketika yang harus dituangkan adalah perasaan yang begitu dalam. Tapi anehnya, judul esai itu langsung muncul di kepalaku:
"Reflections Beyond the Ordinary: sebuah pengakuan bukan tuntutan."
Namun perjalanan menulisnya tak mudah. Ada saat aku hampir menyerah, terutama ketika melihatnya seolah tengah menyukai orang lain. Rasanya hancur. "Untuk apa lagi esai ini," batinku, "jika aku sudah tahu jawabannya?"
Aku kembali bercerita kepada temannya.
"Aku nggak tahu lagi harus gimana. Rasanya percuma. Kalau dia memang suka sama orang lain, apa gunanya semua ini?"
Temannya membalas cepat, seakan takut aku semakin jatuh.
"Dengar... perasaan dia ke orang lain itu belum tentu nyata. Yang nyata sekarang cuma perasaanmu ke dia. Jangan gampang terdistraksi, jangan biarin pikiran itu bikin kamu berhenti. Fokus sama tujuanmu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira."
Kata-kata itu menancap dalam, memberi tenaga baru untuk tetap melanjutkan.
Menulis esai membuatku nyaris remuk. Setiap kata adalah serpihan hati yang kupaksa keluar. Aku menahan tawa getir, sekaligus tangis yang perih. Di saat itu aku sadar: aku sudah sejauh ini bertahan, memikul beban yang begitu berat, dan masih mampu menuangkannya dalam bentuk kata.
Menurut perkiraanku, esai ini akan menghabiskan waktu sekitar dua minggu lebih, tapi aku ingin menceritakan seluruh perjalanan ini di sini. Sekarang, aku sedang berada di bab pendahuluan, yang berisikan undangan rasa untuknya—sebuah pembuka hati yang kuharap bisa sampai dengan jujur.
Aku ingin menegaskan bahwa esai ini bukan sekadar tulisan biasa. Menurut pengertian akademis, esai adalah karangan prosa yang membahas suatu permasalahan dari sudut pandang pribadi penulis, bersifat subjektif, tapi disampaikan secara runtut, mendalam, dan argumentatif. Lewat esai, aku bisa menjelaskan perasaanku dengan jujur, terstruktur, dan utuh—bukan sekadar kalimat pendek.
Dan akhirnya aku tahu—esai dan cerpen yang kini sedang kutulis,bukan sekadar tulisan biasa. Ia adalah penentu: apakah ini akan menjadi akhir dari kisah yang tak pernah sempat dimulai, atau justru awal dari segalanya.
Aku menamai cerpen ini "Labirin Sunyi Dalam Dadaku." Sebuah ruang kecil tempat aku bisa jujur, ketika dunia nyata tak pernah memberiku keberanian yang sama.