CHAPTER-VI

"Dua Hari Tiga Malam"

Hari-hari setelahnya masih dipenuhi bayangan wajahnya Senyumnya yang sederhana, caranya menatap tanpa sadar, bahkan nada suaranya yang tenang—semua itu terus menempel dalam ingatanku.

Ada sesuatu yang tak bisa lagi kutahan, perasaan ini mendesak untuk disuarakan.
Aku mulai berpikir, mungkin sudah saatnya aku jujur, meski aku tahu jalan itu tak mudah.

Pertemuan itu masih jelas terekam dalam ingatanku. Kami duduk berhadapan, berbincang ringan seolah tak ada beban apa-apa.

la tertawa kecil saat aku salah menyebutkan nama tempat, dan aku ikut tertawa hanya karena melihatnya tersenyum.

Percakapan itu sederhana, tapi justru di situlah aku merasakan lagi-betapa aku ingin semua ini tidak berhenti hanya sebagai pertemanan biasa.

Sepulang dari pertermuan itu, dadaku terasa penuh, seperti ada sesuatu yang menyesakkan dan tak bisa diluapkan.
Malam itu aku tak bisa tidur nyenyak. Aku terbaring dalam gelap, menatap langit-langit, sambil bertanya pada diriku sendiri:

"Haruskah aku membuka perasaan yang selama ini ku simpan sendirian?"

Dua hari tiga malam aku berkutat dengan pertanyaan yang sama.
Setiap detik, ada rasa takut sekaligus keinginan yang mendesak.

Tanganku berulang kali menuliskan kalimat demi kalimat di kertas, mencoba menyusun kata-kata untuk menyatakan isi hati, lalu merobekriya lagi dengan gemetar.

Setiap sobekan kertas terasa seperti luka kecil di dalam dadaku sendiri.

Pada akhirnya, aku merasa tidak sanggup menanggung semua ini sendirian.
Aku menemui seorang teman dekat, berharap la bisa memberiku sedikit keberanian.
Dengan suara yang bergetar aku berkata,

"Aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya... aku ingin jujur, meski aku tahu risikonya."

Namun jawaban yang kuterima justru membuatku terdiam.

"Jangan," katanya tanpa ragu.
"Apa maksudmu?" tanyaku, hampir memohon.
"Kalau kau menyatakan isi hatimu, itu hanya akan membuatmu jatuh harga diri. Kau akan terlihat terlalu berharap. Biarkan saja, lebih baik kau simpan perasaanmu sendiri."

Kata-katanya menghantam seperti hujan deras di malam tanpa lampu.
Aku ingin membantah, ingin mengatakan bahwa cinta bukan soal harga diri—melainkan soal keberanian untuk jujur.
Tapi lidahku kelu.

Dadaku terasa sesak, seolah dunia ikut menertawakan kelemahanku.
Aku hanya terdiam, terjebak dalam keraguan yang semakin menyesakkan.

Malam itu aku duduk sendirian di kamar gelap, hanya ditemani cahaya pucat rembulan yang menembus jendela.

Di tanganku, kertas-kertas yang kusobek menggumpal tak berbentuk, seolah menjadi saksi bisu atas hatiku yang retak.
Dalam sunyi, aku hanya bisa menunduk, membiarkan air mata jatuh tanpa suara.

Apakah benar menyatakan perasaan adalah sebuah kerendahan?
Atau justru satu-satunya jalan agar aku tidak menyesal selamanya?