CHAPTER-VII

"Bayangan yang Tertinggal"

Malam itu aku masih terduduk di kamar, menatap langit-langit tanpa arah.
Kata-kata temanku terus berputar di kepalaku:

"Kalau kau menyatakan isi hatimu, itu hanya akan membuatmu jatuh harga diri. Kau akan terlihat terlalu berharap.
Biarkan saja, lebih baik kau simpan perasaanmu sendiri.
"

Ucapan itu menancap seperti duri. Semakin kupikirkan, semakin sakit rasanya.
Benarkah begitu? Apakah perasaanku ini seburuk itu?

Aku menggenggam selimut erat-erat, berusaha menahan perasaan yang sudah terlalu penuh.
Ada rasa marah, kecewa, sekaligus takut.

Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang tidak bisa kutolak:
aku sungguh menyukaimu.

Dan bagaimana mungkin aku menganggap perasaanku sendiri sebagai sesuatu yang memalukan?

Aku sadar, mungkin berterus terang akan membuatku terlihat lemah.
Mungkin juga aku akan ditolak mentah-mentah.

Tapi bukankah jauh lebih menyakitkan jika aku selamanya diam, pura-pura tidak peduli, sementara hatiku terus berdegup hanya karena namamu?

Aku menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Malam itu aku memutuskan satu hal:
aku tidak akan membiarkan kata-kata orang lain menghalangi langkahku.

Mungkin aku belum tahu caranya, mungkin aku masih gamang, tapi aku ingin mencari celah—meski sekecil apa pun—agar suatu hari nanti aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu.

Aku sudah lelah menyembunyikan semuanya.
Lelah berpura-pura baik-baik saja.
Lelah menutup luka dengan senyum.

Cintaku padamu bukanlah beban,
melainkan denyut hidup yang tak bisa terus kusembunyikan.

Mencintaimu bukanlah aib yang harus kusembunyikan, melainkan rahasia indah yang menuntut untuk disuarakan.

Dan biarpun dunia menertawakan keberanianku. Aku lebih rela jatuh karena kejujuran. Daripada selamanya terikat dalam diam yang menyakitkan.